DoetaNewsTV | Tokoh—Tubuhnya mungil, wajahnya putih bersih, penampilannya sederhana. Namun, kalau beliau sudah berbicara, kita yang mendengarkannya akan terhipnotis, menyimaknya dengan serius, memaknai setiap tutur katanya.
Ibu empat anak dan nenek dua cucu ini bernama Hajjah Diyah Nur Aeni, S.Sy. Panggilannya Bu Diyah, tetapi orang terdekatnya memanggilnya Umi Aeni. Pagi hari di bulan Mei yang cerah, ditemani camilan khas Brebes, saya berbincang dengannya di rumahnya yang sejuk, di kawasan Serua Ciputat, Tangerang Selatan.
Masa Remaja
Diyah Nur Aeni, yang berarti “wanita dengan mata bercahaya”, lahir di Bumiayu, Brebes, 3 Agustus 1973, sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Tak pernah terlintas dalam benaknya akan menjadi kader partai, karena cita-citanya sederhana, menjadi ibu rumah tangga dan mendidik putra-putrinya dengan nilai-nilai islami.
Ingin mempunyai keterampilan yang bisa langsung diterapkan setelah lulus SMA, maka begitu lulus SMP, Diyah memilih masuk SMKK, Sekolah Menengah Keterampilan Keluarga (sekarang SMK) jurusan Boga, spesialisasi pastry. Lulus SMKK Negeri Purwokerto, Diyah lanjut masuk pesantren.
Lho, kok pesantren? Kenapa tidak langsung bekerja?
“Saya juga heran kenapa Bapak saya menyuruh saya masuk pesantren. Padahal dua kakak perempuan saya tidak masuk pesantren. Tetapi pas giliran saya, lulus SMKK malah disuruh mondok. Yo wis, saya nurut, sebagai bakti saya pada orangtua,” tutur Bu Diyah.
Jadi sebenarnya waktu Bu Diyah kanak-kanak, kalau bapaknya sedang kumpul, nonton pertandingan sepak bola di televisi bersama kakak-kakak dan adiknya yang laki-laki, Bu Diyah suka ikut menonton.
“Begitu saya nimbrung, Bapak selalu bilang begini, ‘Nah… ini Doktoranda Diyah Nur Aeni.’ Setelah saya dewasa baru saya memahami, ternyata, masyaallah, orangtua saya mendoakan saya sejak dulu, bahwa saya pasti akan menjadi sarjana.”
Namun, sewaktu Bu Diyah lulus SMKK, ayahnya memintanya masuk pesantren. Padahal guru-gurunya bilang, “Diyah, ada beasiswa untuk masuk perguruan tinggi. Kamu ikut, ya?” Saat itu Bu Diyah menjawab, “Tidak, Pak. Saya tidak kuliah dulu. Kata bapak saya, saya mau masuk pesantren.”
Saat itu di hati Diyah tebersit rasa marah pada ayahnya. “Kenapa Bapak nggak dukung saya kuliah? Kata bapak saya waktu itu, ‘Sudahlah, kamu cukup berbakti pada suami. Kakak-kakak kamu dulu juga daftar perguruan tinggi nggak ada yang lulus.’”
“Jadi, bapak saya khawatir saya akan gagal juga. Maka bapak saya ingin saya memantapkan diri dulu di pesantren. Tujuannya, Bapak ingin karakter saya lebih kuat, sehingga saya bisa lebih kuat menghadapi dunia yang tidak selalu sesuai dengan keinginan kita.”
Bertemu Jodoh
Sementara itu di Jakarta, kakak laki-laki Bu Diyah kuliah di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Di asrama khusus mahasiswa STAN, ia mempunyai teman sekamar bernama Budi Prajogo, pemuda asal Semarang. Lewat kakak Diyah inilah Budi berkenalan dengan sang adik. Di zaman itu belum ada ponsel, belum bisa whatsapp-an, tapi kalau niat sudah teguh, cara apa pun akan ditempuh. Maka tanpa menunggu lama, Pak Budi berangkat ke Brebes, ke tempat Bu Diyah mondok.
Waktu Pak Budi datang ke pesantren dan melamar Bu Diyah, Pak Kiyai menjawab, “Saya tuh dititipin Diyah selama setahun oleh bapaknya Diyah. Jadi saya ya ndak bisa mengizinkan.”
Namun, Pak Budi tidak bisa menunggu. Maka selanjutnya ia langsung melamar ke bapaknya Bu Diyah. “Pak, saya ingin menikah dengan Diyah. Urusan kuliah, tanggung jawab saya.”
Maka pada tahun 1993, saat itu Diyah menjelang 20 tahun dan Budi 22 tahun, mereka menikah di Brebes. Dari pernikahan ini mereka dianugerahi empat buah hati, yaitu Maryam (lahir 1994), Fatimah (lahir 1997), Khodijah (lahir 2000), dan Ahmad Yasin (lahir 2004).
Menjadi Ibu Rumah Tangga
Menjadi istri dan diboyong ke daerah Ciputat, Tangsel, bukan persoalan mudah bagi Bu Diyah. Status baru, lingkungan baru, rutinitas baru. Tapi bukan Bu Diyah namanya kalau menyerah begitu saja. Sambil mengurus anak, Bu Diyah mengajar mengaji untuk anak-anak di sekitar lingkungan rumah. Lama-lama ia semakin sibuk, karena para ibu-ibu tetangga juga minta diajari mengaji.
Tahun 1994, sewaktu Bu Diyah melahirkan anak pertama, sepulangnya dari rumah sakit, Pak Budi berkata, “Umi, biar Abi yang menyelesaikan kuliah dulu. Nanti kalau Abi sudah selesai, baru Umi kuliah ya.”
Namun, Bu Diyah memilih konsentrasi mengurus anak dulu. “Kami sepakat punya anak empat atau lima, setelah itu baru saya mau kuliah,” ujarnya.
Awalnya Bu Diyah memilih UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta). “Saya terus terang bingung, mau ambil jurusan apa. Yang penting bisa kuliah pagi, supaya kalau anak-anak sekolah, saya bisa kuliah. Dan saat anak-anak pulang sekolah, saya sudah di rumah. Bagaimanapun, anak-anak tetap harus dalam pengawasan orangtua.”
Namun, saat mau mendaftar ulang di UMJ (Bu Diyah memilih jurusan Komisi Penyiaran), ternyata jadwal kuliahnya pagi hari, dan kampusnya di daerah Cempaka Putih. “Saya pikir, duh, kuliahnya kok jauh. Lagi pula saya waktu itu belum lancar naik motor. Akhirnya saya mundur. Saya bilang ke suami, ‘Abi, kayaknya Umi nggak jadi kuliah deh.’”
Tahun 2010, saat keempat anaknya mulai beranjak besar, Pak Budi menawarkan lagi ke istrinya, “Umi, kenapa nggak coba daftar di IIQ?”
Sejujurnya, Bu Diyah takut kuliah di IIQ (Institut Ilmu Al-Quran), karena harus mencapai target menghafal minimal lima juz. Memang, Bu Diyah pernah mondok di pesantren dan pernah ikut tahfiz Quran di LTQ Al-Hikmah di daerah Mampang. Namun, walaupun mampu menghafal 4 juz, Bu Diyah tetap tidak pede. Apalagi dia merasa kesibukan mengurus anak akan membuatnya tidak cepat menghafal minimal 5 juz. Tetapi Pak Budi terus menyemangati.
Pada tahun 2010, Bu Diyah mantap kuliah di IIQ, ambil jurusan Syariah. Waktu itu ia menargetkan diri menghafal 10 juz, tapi tak tercapai. Akhirnya ia minta turun menjadi 5 juz.
Sepak Terjang di Dunia Politik
Berhasil meraih gelar sarjana, Bu Diyah tidak berpuas diri. Ia terus menambah keilmuan dan keterampilan. Tahun 2010, Bu Diyah ikut kursus Mubalighoh Khoiru Ummah, juga mengikuti pendidikan kursus profesi advokat PERADI.
Di bidang organisasi, Bu Diyah juga tidak kalah pengalaman. Tahun 2019, ia menjadi bendahara Salimah (organisasi massa persaudaraan muslimah) Tangsel, dan tahun 2013 menjadi ketua PD Salimah Tangsel.
Saat ini Bu Diyah menjadi ketua Dewan Syariah Salimah Tangsel, bendahara LBH Paham Batan, masih menjadi pengajar di majelis taklim, dan menjadi konsultan hukum di Rumah Keluarga Indonesia.
Seperti Bapak H. Budi Prajogo SE., M.Ak yang sudah lebih dulu terjun ke dunia politik (kini menjabat wakil ketua DPRD Provinsi Banten), karier politik Bu Diyah juga melesat. Sejak 2021 hingga sekarang, Hajjah Diyah Nuer Aeni, S.Sy menjadi Ketua Bidang Polhukam DPD PKS Tangsel.
Tahun 2024 nanti, Bu Diyah akan mencalonkan diri menjadi BCAD (Bakal Calon Anggota Dewan) Dapil Ciputat Timur, dari partai PKS, nomor urut 3. Semoga sukses. Berjuang menyampaikan aspirasi rakyat!